Sejarah Di Di Buka Objek Wisata Guci bermula setelah ditemukannya sumber mata air (bahasa jawa: tuk) di Desa Guci dan diteliti tidak mengandung racun. Maka pada tahun 1974 pemandian air panas dibuka untuk umum dengan fasilitas yang masih alami dan belum dibuat seperti sekarang ini, wisatawan masih mandi di bawah gua sumber mata air panas yang konon tempat itu merupakan daerah kekuasaan dayang Nyai Roro Kidul yang bertugas di wilayah sungai sebelah utara Gunung Slamet atau lebih dikenal Kali Gung. Dinamakan Kali Gung sebab bersinggungan dengan mata air yang agung yakni aliran mata air panas yang melimpah sepanjang tahun, dayang Nyai Roro Kidul bernama Nyai Rantensari yang berwujud naga maka di Pancuran 13 tersebut dibuat Patung Naga untuk mengingatkan akan daya mistis yang ada dikawasan Objek Wisata Guci.
Di kawasan tersebut juga terdapat pohon beringin dan pohon karet yang sudah ratusan tahun yang konon ditanam oleh keturunan Kyai Klitik yang bernama Eyang Sudi Reja dan Mbah Abdurahim pada tahun 1918. Dengan maksud agar daerah tersebut tidak mudah longsor, kuat serta rindang. Sampai sekarang pemandian air panas Guci menyimpan misteri kegaibannya sebab merupakan peninggalan para wali terdahulu penyebar agama islam, dan masih banyak tempat – tempat yang menyimpan sejarah seperti petilasan Kyai Mustofa dan makamnya di Pekaringan berjarak 5 KM dari Desa Guci, Kyai Mustofa adalah seorang ulama keturunan kanjeng Sunan Gunungjati yang syiar Islam kemudian bertapa di Desa Guci pada zaman cucu Kyai Klitik.
Ulama inilah yang memberi nama air terjun di sebelah atas Pemandian Pancuran 13 yaitu Curug Serwiti sebab banyak muncul burung serwiti dan diatas curug itu ada lagi sebuah curug yang indah bernama Curug Jedor yang tidak pernah diketahui asal muasal nama tersebut. (Data ini bersumber dari Babad Tanah Jawa dan penuturan leluhur dari keturunan Raden Patah)
Sejarah Obyek Wisata Guci Tegal
Pada tahun 1767 di sebuah hutan di lereng gunung Slamet yang sangat sepi, datanglah seseorang bernama Raden Aryo Wiryo keturunan Keraton Demak Bintoro bersama istrinya Nyai Tumbu yang membuka lahan dan berdiam untuk menetap. Hal tersebut di lakukan Raden Aryo Wiryo karena merasa jenuh dengan keadaan Keraton Demak yang di penuhi dengan debat perebutan kekuasaan antar saudara yang di sebabkan karena politik pecah-belah penjajah belanda, meski sebelumnya Raden Aryo Wiryo pernah mengabdi dan di tugaskan oleh Sultan Agung masa kerajaan Mataram untuk berangkat ke Cirebon. Karena keberadaan Raden Argo Wiryo di daerah tersebut, maka banyak penduduk di sekitar lereng berdatangan dan ikut membuka lahan tempat tinggal untuk berguru kepada Raden Aryo Wiryo. Lereng tersebut akhirnya di namakan Kaputihan oleh Raden Aryo Wiryo karena penduduk perkampungan tersebut hanya mengenal ajaran Islam.
Beberapa waktu kemudian datanglah ke Perkampungan Kaputihan Kyai Elang Sutajaya seorang murid pesantren Sunan Gunung Jati Syeikh Syariffihidayatullah untuk syiar Islam, maka Raden Aryo Wiryo bersama penduduk sekitar mendalami dan memantapkan ajaran Islam tersebut kepada Kyai Elang Sutajaya. Pada bulan jawa Asyura atau bulan Islam Muharram perkampungan tersebut mengalami musibah banyak tanah longsor dan gatal2 (gudigan) atau di sebut pageblug, Kyai Elang Sutajaya mengajak Raden Aryo Wiryo bersama penduduk sekitar untuk berdoa guna menghilangkan musibah dan wabah penyakit gatal2 tersebut. Dalam tasyakur, tahlil, Manaqib tersebut Kyai Elang Sutajaya menyerukan kepada Raden Aryo Wiryo dan penduduk setempat untuk mengumpulkan sayur-mayur berikut pala pendem dan Menyembelih Kambing Kendit untuk di serahkan kepada kaum Faqir Miskin. Hingga Kanjeng Sunan Gunung Jati Syeikh Syariffihidayatullah berkenan hadir dengan memberikan sebuah Guci berisi air yang di minumkan kepada para penduduk yang mengalami wabah sakit gatal dan memercikkan air guci tersebut ke sudut-sudut kampung yang mengalami musibah alam atau Pageblug.
Ketika musibah dan wabah telah berlalu, untuk mengenang peristiwa pageblug maka perkampungan yang semula bernama Kaputihan di ganti menjadi Kampung Guci. Guci Kanjeng Sunan tersebut sebelumnya di simpan di tempat Raden Aryo Wiryo melakukan Tirakat (Dzikir dan Doa) yang sekarang di namakan Telaga Ada Dukuh Engang, Guci, dan hingga kini Guci Kanjeng Sunan tersebut masih ada dan tersimpan di musium nasional Kabupaten Brebes, karena pada masa Adipati Cokroningrat Guci masuk wilayah Kabupaten Brebes.
Di kisahkan pada saat Kyai Elang Sutajaya dan Raden Aryo Wiryo (Ki Ageng Klitik) mengelilingi kampung di temukan sebuah mata air panas di bawah sebuah goa yang di kenal dengan nama Pancuran 13. Dan di temukan sumber air panas lain yang di kenal dengan Pemandian Kasepuhan dan Pemandian Pengasihan yang dapat mengobati penyakit kulit dan tulang serta beberapa penyakit lainnya.
Adapun Goa Segeong yang terletak 350 meter sebelah selatan dari pintu masuk Obyek Wisata di namakan karena tempat tersebut dahulu adalah tempat Mbah Segeong pendatang yang turut belajar Islam dan melakukan tirakat di Goa tersebut.
Pada masa itu di sebuah bukit sebelah timur Guci banyak terdapat binatang badak atau dalam bahasa jawa di sebut Warak, maka tempat tersebut di namakan kandang warak oleh Kyai Elang Sutajaya. Kini tempat tersebut telah menjadi sebuah perkampungan yang bernama Pekandangan.
Perlu di ketahui bahwa pada abad 6 Masehi, Tegal, Brebes, Slawi adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda-Galuh pada pemerintahan Raja Wretikandayun hingga Raja Raden Sanjaya bagian timur bagian utara pulau Jawa hingga ke selatan meliputi Banjarnegara, Purwokerto, Banyumas, hingga Kebumen.
Pada Abad ke 7 Masehi karena perebutan kekuasaan Kerajaan Sunda antar saudara, berdirilah Kerajaan Medang (Mataram Kuno) di daerah sekarang Jogjakarta yang di dirikan oleh Raden Sanjaya Cicit dari Raja Wretikandayun yang mengalah menghindari perang saudara untuk ke sekian kali. Wilayahnya di bagian bagian barat adalah Tegal, Banyumas, mengambil sebagian wilayah Kerajaan Sunda hingga ke timur adalah Banyuwangi termasuk Kerajaan Kanjuruhan di Malang.
Menginjak abad 9 Masehi Tegal hingga Banyumas kembali menjadi wilayah Kerajaan Sunda (sekarang Panjalu Ciamis) setelah kerajaan Medang Mataram runtuh karena serangan dari Kerajaan Chola China, hal itu terjadi karena perang saudara antara Keturunan Cicit Raja Sanjaya yang berbeda keyakinan, Raja Saelendra yang beraliran Budha wilayah pemerintahannya adalah daerah penaklukan Kerajaan Sriwijaya-Sumatra di serang oleh pasukan kerajaan Medang di Jogjakarta (lihat juga sejarah kerajaan Medang). Tegal-Brebes kembali lepas dari Kerajaan Sunda pada abad 12 Masehi karena di kuasai oleh Kerajaan Majapahit Raden Wijaya yang adalah putra mahkota Kerajaan Sunda dengan istri putri Dharmawangsa Raja Singosari terakhir, hingga runtuh oleh serangan Kerajaan Demak pada abad 14 oleh Raden Fatah yang tiada lain adalah Putra Raja Majapahit Brawijaya dari selir keturunan China yang telah menganut Islam.
Pada abad 15 Masehi setelah Kerajaan Sunda-Galuh bersatu menjadi kerajaan Pakuan Padjajaran dan runtuh karena Kerajaan di tinggal pergi Raja Pajajaran untuk menghindar dari Syiar Islam Kesultanan Cirebon yang di pimpin oleh Syeikh Syariffihidayatullah yang tidak lain adalah cucu Sri Baduga Maharaja Siliwangi dari anak Rara Santang. Pada abad 17 Tegal-Brebes menjadi bagian wilayah pemerintahan Kesultanan Cirebon dari Demak karena proses pernikahan antara Putra Syeikh Syariffihidayatullah yaitu Pangeran Pasarean dengan putri keturunan Raden Fatah. Melalui politik pecah- belah Belanda, Tegal-Brebes-Slawi-Pemalang propinsi Jawa Tengah di jadikan Keresidenan yang wilayahnya hampir sama dengan Kesultanan Cirebon yang di jadikan Keresidenan Cirebon-Indramayu-Kuningan-Majalengka menjadi propinsi Jawa Barat. Namun demikian, meski telah di pecah-belah Masyarakat Tegal-Brebes-Slawi-Pemalang hingga kini masih kental dengan perjuangan Kanjeng Sunan Gunung Jati Syeikh Syariffihidayatullah, hal ini dapat terlihat dari peradaban, budaya, bahasa, dan kebiasaan yang hampir mirip.